Rasio Ekonomi dan Sosial di Balik Tragedi 1998: Pelajaran untuk Masa Depan
Portal News – Tragedi Mei 1998 bukan sekadar kerusuhan sosial, tetapi juga merupakan titik puncak dari akumulasi krisis ekonomi dan ketimpangan sosial yang telah lama terpendam. Ketika nilai tukar rupiah anjlok tajam dan harga kebutuhan pokok melambung tinggi, lapisan masyarakat bawah menjadi pihak yang paling terdampak. Ketidakmampuan pemerintah dalam merespons krisis ekonomi secara cepat dan efektif memperburuk situasi dan memicu kemarahan rakyat.
Salah satu penyebab utama dari tragedi tersebut adalah rasio ekonomi yang timpang. Di akhir era Orde Baru, sebagian besar kekayaan negara hanya dikuasai oleh segelintir elite ekonomi, sementara mayoritas rakyat mengalami stagnasi penghasilan. Ketimpangan ini diperparah oleh praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang mengakar kuat dalam sistem pemerintahan saat itu. Akibatnya, jurang antara kaya dan miskin semakin melebar, menciptakan ketidakpuasan yang masif di masyarakat.
Di sisi sosial, ketegangan antarkelompok etnis dan kelas juga turut menjadi pemicu konflik. Kelompok minoritas, terutama warga keturunan Tionghoa, kerap menjadi kambing hitam dalam situasi krisis. Padahal, mereka juga merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang mengalami tekanan ekonomi. Stigmatisasi dan diskriminasi yang terus-menerus terjadi selama bertahun-tahun membuat hubungan sosial menjadi rapuh dan mudah tersulut oleh provokasi.
Tragedi 1998 menjadi bukti bahwa stabilitas ekonomi tanpa keadilan sosial adalah fondasi yang rapuh. Negara yang hanya fokus pada pertumbuhan angka makroekonomi tanpa memperhatikan distribusi kesejahteraan berisiko menghadapi ledakan sosial sewaktu-waktu. Ketika masyarakat merasa tertinggal dan tidak memiliki akses yang adil terhadap pendidikan, pekerjaan, dan keamanan, maka krisis sekecil apa pun dapat berkembang menjadi bencana nasional.
Pasca reformasi, Indonesia memang telah mencatat sejumlah kemajuan dalam sistem demokrasi dan keterbukaan. Namun, tantangan Bandar55 ketimpangan ekonomi dan sosial masih menjadi pekerjaan rumah besar. Rasio gini—yang menunjukkan tingkat ketimpangan pendapatan—masih menunjukkan ketidakseimbangan yang perlu dibenahi. Begitu pula akses layanan publik yang belum merata antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Pelajaran penting dari tragedi ini adalah perlunya integrasi antara kebijakan ekonomi dan kebijakan sosial. Pemerintah harus memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi disertai dengan peningkatan kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat. Reformasi sektor pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial menjadi kunci dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan tangguh terhadap gejolak.
Di samping itu, perlu dibangun kesadaran kolektif mengenai pentingnya toleransi dan keadilan antar kelompok. Negara harus hadir sebagai pengayom seluruh rakyat, tanpa memandang suku, agama, atau latar belakang etnis. Penegakan hukum yang adil dan perlindungan terhadap kelompok rentan harus menjadi prioritas dalam menjaga keharmonisan sosial.
Tragedi Mei 1998 adalah luka sejarah yang tidak boleh dilupakan, tetapi juga harus dijadikan cermin untuk masa depan. Hanya dengan memahami akar persoalan—baik ekonomi maupun sosial—kita bisa mencegah tragedi serupa terulang kembali. Indonesia yang adil, inklusif, dan berkeadilan sosial bukan hanya cita-cita, tetapi sebuah keharusan agar sejarah kelam tak terulang di masa depan.
Post Comment